Parenting

Efek Negatif Akbiat Mengatakan Bodoh Di Hadapan Anak

Modalcerita.com – Sehari-hari dalam melakukan acara pendidikan dan pengembangan anak, mungkin, kita sering atau pernah mendengar ungkapan “kau terbelakang” atau mendengar kerabat sepupunya yakni “Guoblok“. Kita sering mendengar atau bahkan mungkin sengaja maupun tidak sengaja kita pernah mengucapkan kata-kata berkonotasi negatif tersebut. 

Ungkapan ini memang sering sekali kita jumpai, baik di rumah maupun di sekolah. Biasanya kata-kata ‘kau kolot’ diucapkan untuk menggambarkan kondisi penerima didik, baik secara individu maupun berkelompok. Karena sering diucapkan di lingkungan pendidikan, maka bisa dipastikan yang mengucapkan kata-kata tersebut tidak lain dibandingkan dengan pendidik (guru).

Tetapi tidak tertutup kemungkinan yang menyampaikan demikian adalah orang tua sebab, kita tahu, orang tua yaitu pendidik utama. Menjadi pertanyaan, pantaskah menyampaikan ‘kolot’ terhadap anak?? Adakah dampak menyampaikan menyampaikan perkataan negatif terhadap anak?

Apa Dampak Dari Kata Bodoh Kepada Anak?

Kata ‘udik’ berdasarkan kamus bahasa Indonesia memiliki arti tidak lekas mengerti; tidak gampang tahu atau tidak mampu melakukan, dan sebagainya. Bodoh juga mempunyai arti tidak memiliki wawasan. Ketika orang tua menyampaikan “kau kolot” terhadap anaknya, bermakna orang renta berpandangan bahwa anaknya tidak lekas mengerti, tidak mudah tahu, tidak mampu mengerjakan, atau tidak mempunyai wawasan.

Sedangkan Kebodohan dalam Wikipedia: adalah kondisi dan suasana di dikala kurangnya pengetahuan terhadap sesuatu info yang bersifat subjektif. Hal ini tidak sama dengan tingkat kecerdasan yang rendah (kedunguan), mirip kualitas intelektual dan tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang. Kata “kurang pandai” yakni kata sifat yang menggambarkan kondisi di dikala seseorang tidak menyadari sesuatu hal, tetapi masih mempunyai kesanggupan untuk memahaminya.

Istilah ndeso mampu ditempatkan seperti dalam kalimat “Seseorang mempunyai kemahiran dalam matematika, tetapi sama sekali udik dalam ilmu bahasa”. Di sisi lain secara umum, kata kurang pandai sering ditempatkan seperti dalam kalimat “Orang itu kurang pandai lantaran membiarkan hal itu terjadi”. Penggunaan ungkapan udik pada pola kalimat yang kedua tersebut bermakna sebuah ucapan penghinaan yang merendahkan mutu kecerdasan seseorang, tetapi sesungguhnya itu tidak sempurna dalam hal makna bahu-membahu.

Nah, dalam pembahasan kali ini, ‘kurang pandai’ yang saya maksudkan ialah suatu keadaan dimana tidak dapat melaksanakan, tidak dapat melaksanakan, tidak dapat menjawab soal, atau tidak memiliki pengetahuan. Fakta menyatakan bahwa anak merupakan individu yang berada dalam taraf tidak dapat melakukan, tidak dapat

Dalam suasana dimana anak tidak bisa melakukan, tidak dapat mengerjakan sesuatu hal atau menjawab pertanyaan secara tepat, tidak jarang, orang tua mengungkapkan kekecewaannya atas suasana tersebut dengan melontarkan kata-kata seperti ‘kau bodoh’, ‘udik lu’, atau ‘lu pung bodok lai’, atau kata-kata sejenis.

Ada orang renta yang tidak merasa bersalah sewaktu mengatakan demikian. Fenomena seperti ini pada umumnya disebabkan oleh ketidaktahuan akan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kata-kata tersebut. Ada juga karena telah ada kesepakatan sebelumnya dengan anak, manakala mereka tidak dapat melaksanakan, tidak bisa menjalankan, atau tidak bisa menjawab, maka mereka akan dibilang terbelakang.

Yang terakhir ini bekerjasama dengan administrasi interaksi interpersonal dalam keluarga. Meski demikian, untuk menghindari kesan penghinaan terhadap anak, saya mengusulkan kepada orang sekalian petang ini semoga sebaiknya tidak mengatakan kolot terhadap anak.

Pertimbangan Untuk Anak

1. Pemahaman Anak

Anak terang merupakan individu yang memang tidak lekas mengerti, tidak mudah tahu, tidak mampu melakukan, atau tidak mempunyai wawasan. Kalau anak lekas mengerti, mudah tahu, dapat menjalankan, atau mempunyai pengetahuan, maka mereka tidak memerlukan orang tua. Sebab mereka bisa mencar ilmu secara mampu berdiri diatas kaki sendiri dan sama sekali tidak memerlukan direct (kode) dari siapa pun.

2. Kemampuan Anak

Setiap anak memiliki kemampuan yang berlawanan-berlainan. Anak yang satu tidak sama dengan anak yang lain. Kalau ada anak yang minim dalam mata pelajaran matematika, fisika, atau ilmu-ilmu eksakta lainnya, belum tentu ia minim juga dalam mata pelajaran bahasa inggris, bahasa indonesia, dsb. Begitu pula, mungkin ada anak yg maximal dalam mata pelajaran eksakta tetapi belum tentu ia optimal dalam mata pelajaran non eksakta. Kaprikornus, yaitu tidak perlu mengatakan ‘udik’ terhadap anak hanya lantaran ia minim dalam mata pelajaran atau hal tertentu.

Dalam hal ini saya sependapat dengan teori multiple intelligence atau kecerdasan majemuknya seorang psikolog asal AS, Howard Gardner menyatakan bahwa: Kecerdasan (inteligensi) tidak berisikan satu yang biasa dan beberapa yang khusus, melainkan memang sungguh-sungguh ada beberapa inteligensi khusus yang masing-masing berdikari, yakni kecerdasan bahasa (linguistic), logika matematika (logic-mathematical), ruang (spatial), gerak tubuh (bodily-kinesthetic), musik (musical), antarpribadi (interpersonal), dan ke dalam diri (intrapersonal), serta kecerdasan ihwal alam (naturalistic intelligence).

Sudah semestinya orang bau tanah mengetahui bahwa anak yakni individu yang tidak lekas mengerti, tidak mudah tahu, tidak mampu menjalankan, atau tidak memiliki pengetahuan, sehingga tidak lekas mengatakan ‘bodoh’. Maksud saya, setiap orang tua hendaknya menahan diri untuk tidak mengatakan ‘kolot’, baik secara verbal maupun tulisan, terhadap anak.

Tujuannya pastinya supaya anak bebas dari desain diri ‘udik’ yang dilontarkan oleh orang bau tanah. Kita tahu, kurang pandai selalu berasosiasi negatif. Jika kata ini terlanjur disematkan kepada anak, bukan mustahil ia akan membangun rancangan diri secara negatif sesuai dengan kata yang disematkan kepadanya. Akibatnya, anak tidak akan tertantang untuk meningkat.

Dalam kaitannya dengan kecerdasan, orang renta seharusnya mengenali kecerdasan anak. Orang bau tanah yang mengenali kecerdasan anaknya tidak akan memaksakan anaknya untuk menguasai suatu bidang tertentu yang bukan passion anaknya. Orang tua yang demikian akan dengan mudah menyesuaikan gaya membimbing anaknya.

Jangan lupa, sejak kecil anak sudah memperlihatkan minatnya terhadap bidang tertentu. Karena itu, yaitu tugas orang bau tanah dan guru untuk mengakomodir minat anak atau anak didiknya. Ingat, mengakomodir dalam arti memfasilitasi, bukan memaksakan anak supaya beralih terhadap bidang lain.

Alasan Untuk Tidak Menggunakan Kata Kata Kasar Pada Anak

1. Masa Pertumbuhan

Karena anak sedang berada pada fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara psikis, maupun fisik. Pada tahap ini anak memerlukan hal-hal yang bersifat konstruktif dan berkhasiat bagi pertumbuhan dan pertumbuhan kepribadian mereka.

2. Kontra Produktif

Karena sebagai individu yang sedang bertumbuh dan berkembang ke arah kedewasaan, anak mempunyai emosi yang tidak stabil. Mereka akan dengan mudah kehilangan semangat dan rasa percaya diri manakala mendapat label yang kontra produktif dengan pertumbuhan dan perkembangan emosi mereka. Bukan mustahil akan memiliki pengaruh pada terganggunya kondisi emosi mereka.

3. Self Concept

Karena dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, anak  sedang berusaha membangun desain diri (self concept). Apabila gosip yang mereka terima dari luar bersifat negatif, maka rancangan diri mereka pun cenderung negatif. Jarang dijumpai anak yang bisa memperlihatkan langkah-langkah yang berlawanan arah dengan fikiran negatif yang ditujukan kepada mereka. Maksudnya, sulit menemukan anak yang mampu mengambarkan dirinya tidak kurang pandai walaupun dikatakan ndeso.

4. Kepercayaan Diri

Karena anak mampu/ bisa saja mempercayai atau menyetujui perkataan ‘kau ndeso’ yang disematkan pendidik kepadanya. Sepanjang pertumbuhan dan perkembangannya, bahkan mungkin sepanjang hidupnya ia akan menilai dirinya terbelakang.

5. Potensi Anak

Karena maksud kehadiran orang bau tanah dalam kehidupan anak tidaklah untuk menyematkan label ‘ndeso’ terhadap anak. Orang bau tanah hadir dengan tujuan mempekerjakan segala potensi anak yang tentu saja beragam.

Dampak Mengatakan Anak “Bodoh”

Mengatakan ‘kolot’ terhadap anak merupakan langkah-langkah menunjukkan label. Label atau labeling adalah menunjukkan label kepada seseorang sebagai identitas diri orang tersebut dan menerangkan orang dengan tipikal bagaimanakah beliau.

Biasanya , orang yang diberi label akan diperlakukan mirip label yang disematkan kepadanya. Misalnya seorang anak dikatakan ‘bodoh’ maka ia akan diperlakukan mirip orang ndeso. Tindakan yang demikian, entah sadar atau tidak sadar, merupakan klarifikasi akurat terhadap anak ihwal tipikal bagaimanakah ia. Anak cenderung mendapatkan dan menjalani kehidupannya sesuai dengan indetitastersebut yakni identitas orang terbelakang.

Pada dasarnya, pemberian label dimaksudkan untuk mengendalikan penyimpangan dari keinginan tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

Dan kenyataannya memang demikian. Anak yang dibilang ‘kolot’ tidak akan menerima tugas-peran yang bersifat menantang dan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Dari sudut pandang anak, ia senantiasa akan merasa tidak mampu menuntaskan tugas yang menantang dan mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi karena ia terjebak dalam ungkapan ‘kau ndeso’ dimana ia juga mengakui hal itu dengan turut menyampaikan kepada dirinya sendiri ‘saya bodoh, jadi mustahil saya bisa menyelesaikan tugas-peran yang merepotkan dan menantang’.

Sementara itu, dari sudut pandang pemberi label (orang bau tanah) enggan memberikan peran yang menantang dan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi karena terjebak dalam pemikiran ‘ah, dia kan bodoh, mana mungkin bisa melaksanakan peran-peran mirip ini, percuma saja’. Pada akibatnya, anak yang diberi label ‘ndeso’ tidak mendapat potensi untuk berkembang karena tidak pernah  dimotivasi atau diberi pemberian untuk maju. Ia akan berkembang dan berkembang dalam stigma ‘kurang pandai’ bahkan bisa jadi akan mengatakan terhadap dirinya sendiri ‘saya kolot’.

Mengatakan ‘terbelakang’ kepada anak sama dengan menghancurkan kemampuan berinteraksi mereka. Anak yang dilabeli ‘ndeso’ akan menerima diri mereka sendiri sebagai langsung yang tidak diinginkan alias ditolak. Anak yang demikian akan merasa diri tidak dihargai, tidak dicintai, condong menentukan jalan yang gampang, tidak berani mengambil resiko, dan tidak dapat berprestasi, mempunyai penghargaan diri yang rendah dan mampu menyebabkan efek negatif bagi lingkungan, baik lingkungan kerja maupun lingkungan pergaulannya.

Tips Praktis dan Sederhana

Berikut ini saya anjurkan beberapa kiat Praktis dan sederhana untuk menghindari menyampaikan anak ndeso:

1. Berusaha dengan kemampuan optimal untuk mengetahui tidak hanya tahap demi tahap kemajuan anak tetapi juga kesanggupan mereka. Dengan begitu, orang tua akan mengasuh secara sempurna.

2. Setiap orang bau tanah perlu mengakui bahwa mengajar anak bukanlah pekerjaan mudah. Sebab yang diajar yaitu individu yang berkehendak dan unik. Dengan mengakui hal ini, orang renta akan terus menerus berimprovisasi dalam mengasuh selaku upaya mengakomodir kesanggupan anak.

3. Jangan lupa, setiap anak memiliki kecerdasan sendiri. Karena itu gaya mengasuhnya pun tentu tidak sama.

4. Perlu dikenang, menyampaikan ‘terbelakang’ kepada anak tidak merubah apa-apa, kecuali memperburuk kondisi.

5. Emosi perlu dikontrol.

6. Jika ketekunan nyaris habis, cobalah untuk tenang dengan cara menawan diri dari kegiatan mencar ilmu bareng anak.

Demikian tentang balasan dan bahayanya kalau sering menyampaikan anak kurang pandai, mudah-mudahan postingan ini berguna, terimakasih, semoga sukses selalu.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button